When we were five, they asked us what we wanted to be when we grew up. Our answers were thing like astronaut, president, or in my case… princess.
When we were ten, they asked again and we answered - gold medalist, cowboy, or in my case, rock star. But now that we've grown up, they want a serious answer. Well, how 'bout this: who the hell knows?!
This isn't the time to make hard and fast decisions, its time to make mistakes. Take the wrong train and get stuck somewhere chill. Fall in love - a lot. Major in philosophy 'cause there's no way to make a career out of that. Change your mind. Then change it again, because nothing is permanent.
So make as many mistakes as you can. That way, someday, when they ask again what we want to be… we won't have to guess. We'll know."
Dulu saya berfikir kalo pake toga itu menyenangkan, membanggakan dan akhir dari cerita saya. Impian saya ketika masuk kuliah adalah sangat simple, yaitu memakai toga dan berdiri dengan senyum kemenangan. Foto bersama Ibu (well, i guess i do not have my dad on my position) dan memajangnya di kamar saya. Benar- benar simple. Tapi toh meski mimpi itu simple, mimpi itu hanya jadi kenyataan bagi orang lain. Dan bagiku itu masih terbungkus rapi dalam bingkai mimpi. Makhota segi lima itu benar-benar harus saya bayar mahal. Dengan materi, tenaga, fikiran bahkan air mata. Entahlah jika saya bisa menabungkannya dalam bentuk rupiah mungkin saya sudah bisa beli gunung merapi (kumat deh lebainya-___-). Rasanya begitu menyenangkan menggunakan kostum itu, dan ketika nama saya di dikumandangkan diseluruh ruangan. langkah terasa begitu ringan, kepala begitu lengang dengan beban dan senyumanku tak bisa ku bendung. Pada dasarnya saya ingin melakukan banyak hal untuk orang-orang sekitar saya. membuat mereka akan melihat saya dengan senyuman penuh kebanggaan ketika melihat saya. Tapi entahlah itu juga masih terasa ambigu mengingat setiap hari yang saya kerja cuma duduk melamun menunggu bintang jatuh. That's why i hate my self sometimes.